Isran Noor yang merupakan seorang negarawan, tokoh nasional dan sekaligus pejuang rakyat yang sangat diperhitungkan ini seringkali mengeluarkan gagasan terkait bagaimana membangun postur APBN Indonesia yang lebih berkeadilan untuk daerah guna "merawat" NKRI. Ungkapan dan pernyataan yang nadanya seperti itu juga sering diungkapkan oleh beliau maupun orang-orang dekatnya.
Saat ini postur anggaran daerah (APBD) sangat tergantung dengan APBN dimana jika diakumulasikan maka sekitar 70% alokasinya untuk Pemerintah Pusat dan sisanya 30% untuk Pemerintah Daerah dalam bentuk APBD.
Beberapa sumber APBD yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan DBH Sumber Daya Alam sudah cukup tinggi dan maksimal, namun secara persentasi keseluruhan ternyata masih cukup rendah. Sebagai contoh misalnya DBH dari PBB memang 100% untuk daerah namun disisi lain DBH dari Pajak Penghasilan, daerah hanya memperoleh 20% nya saja.
Contoh lain, DBH Sumber Daya Alam Panas Bumi telah ditetapkan sebesar 80% untuk daerah, namun untuk DBH Sumber Daya Alam Minyak Bumi hanya 15.5% untuk daerah dan DBH Sumber Daya Alam Gas Bumi hanya 30.5%. Artinya, meski sebuah daerah (provinsi/kab/kota) sebagai daerah penghasil sekalipun (baik penghasil sumber daya alam, mineral dan gas bumi), daerah tersebut tetap akan sangat bergantung terhadap pusat.
Dengan postur APBN 70% pusat dan 30% daerah seperti yang ada seperti sekarang ini, maka tatkala terjadi badai fiskal dan moneter, pandemi atau perang, maka secara nasional juga akan terdampak, karena "pondasi negara" yakni daerah-daerah begitu rapuh, karena sangat bergantung dari APBN yang 30% tersebut, pun andai daerah-daerah tersebut merupakan daerah penghasil.
Jika kita kembali kepada konstitusi kita dan tujuan berbangsa dan bernegara, sudah sangat jelas sekali bahwa dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan "....untuk memajukan kesejahteraan umum...." bukan kesejahteraan mayoritas atau kesejahteraan minoritas, melainkan kesejahteraan bersama, bukan pula khusus untuk pendudknya yang banyak seperti provinsi-provinsi di pulau jawa, karena jika sumber APBD berasal dari faktor pengali dengan jumlah penduduk maka daerah-daerah yang penduduknya relatif kecil tidak akan pernah bisa maju menyusul saudara-saudaranya yang memiliki jumlah penduduk besar, meskipun daerah tersebut adalah daerah penghasil devisa bagi negara. Dasar yang paling utama adalah kebutuhan dasar sebuah "keluarga" dimasing-masing daerah.
Kebutuhan Dasar sebuah "keluarga" di provinsi Papua Barat tentu berbeda dengan Kalimantan Timur, dan pastinya juga berbeda dengan di Jakarta. Begitu pula kebutuhan dasar sebuah pemerintahan daerah, misal sebagai contoh sederhana, sebuah provinsi pasti memiliki seorang Gubernur, seorang Wakil Gubernur, seorang Sekretaris Daerah dst, namun pembiayaan pemerinthana daerah provinsi tersebut seharusnya tidak hanya proporsional namun juga berkeadilan terkait kebutuhan dasar.
Selain "Kebutuhan Dasar" pemerintahan daerah, UUD 1945 pasal 33 Ayat 3 juga menyatakan hal senada yakni "(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." .
Makna "... sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat..." jika dijadikan persamaan Matematika maka rumusannya adalah Rakyat > Pemerintah atau Daerah > Pusat atau porsi APBN untuk Daerah adalah 70% dan porsi untuk Pusat adalah 30%, atau paling tidak 50% + 1 untuk Daerah dalam bentuk APBD. Ini adalah rumus sederhana untuk menjaga NKRI, ini pula rumus sederhana untuk menjaga mikro dan makro ekonomi.
Rakyat yang sesungguhnya ada di daerah, bukan di pusat, sehingga sangat wajar sekali daerah memperoleh porsi dan bagian yang lebih untuk mereka bisa membangun daerahnya. Dengan demikian akan ada 34 provinsi yang akan bisa membangun seperti Jakarta. Sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 18 ayat 5 (amandemen ke-dua) terkait otonomi yang seluas-luasnya yakni "(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluasluasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat."
Analogi lainnya adalah seperti seorang suami yang memiliki 4 orang istri. Istri pertama bernama DKI Jakarta yang diberi uang belanja 82 Triliun untuk tahun 2022, Istri kedua bernama Jabar dengan uang belanja 168 Triliun, Istri ketiga bernama Jateng dengan uang belanja 49 Triliun dan Istri keempat bernama Kaltim dengan uang belanja 11 Triliun. Kebutuhan dasar setiap provinsi adalah sama.
APBD Kaltim yang hanya 11 Triliun terlebih sebagai daerah penghasil Minyak, Gas Bumi, Batu Bara, Sawit dan komoditi lainnya, serta tentunya sebagai provinsi yang paling merasakan dampak dari ekplorasi bahkan ekploitasi besar-besaran kekayaan alam yang terkandung di perut bumi Kaltim, tidak meminta banyak, bahkan tidak meminta untuk dirinya sendiri (Kaltim), namun kenaikan porsi APBN untuk daerah tersebut demi kepentingan 34 provinsi yang ada dan demi merawat NKRI.
Dengan demikian jika APBN 30% (pusat) - 70% (daerah) bisa direalisasikan, maka Indonesia akan memiliki 33 daerah pertumbuhan baru selain Jakarta, karena 40% APBN yang tadinya ada di pusat, akan dapat di redistribusi ke daerah-daerah dan masuk kedalam APBD. Sehingga BUMD-BUMD bisa menjadi mesin-mesin produksi, menciptakan peluang dan lapangan kerja serta pemerataan pembangunan di seluruh penjuru NKRI.
Dan dengan pola 30-70 lebih dapat merawat NKRI karena Provinsi Miskin sekalipun otomatis juga turut terangkat derajatnya, tidak hanya provinsi penghasil.
Penulis,
Fathur Rachim - HIPPER Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar