Pertemuan Tak Disengaja (Sumber:Dok.Pribadi Penulis) |
Jika kita melakukan refleksi beberapa tahun kebelakang, ketika pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) masih sebatas wacana dan menjadi bahasan serta perdebatan di ruang-ruang publik, maka paling tidak ada 11 calon provinsi yang paling santer berpeluang menjadi lokasi pemindahan dengan berbagai kajian plus minusnya.
Sebelas provinsi tersebut adalah Jawa Barat (Jonggol,Sentul, dll), Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah (Palangkaraya), Kalimantan Selatan (Tanah Bumbu), Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Mamuju) dan Sulawesi Tengah. Lalu pertanyaanya adalah, MENGAPA Kalimantan Timur yang dipilih setelah sebelumnya dikerucutkan dari 11 provinsi menjadi 5 provinsi dan dari 5 provinsi menjadi 3 provinsi ?
Tentu alasannya, disamping kajian teknis terkait kebencanaan (misal, kegempaan), ketersediaan dan biaya pelepasan hak lahan, sosial budaya masyarakat dan pertimbangan-pertimbangan lainnya, disamping karena memang sudah takdir dan garisan tangan masyarakat Kalimantan Timur untuk menerima "Hadiah" besar ini.
Pro-Kontra penetapan Kalimantan Timur sebagai IKN adalah hal biasa dalam sebuah iklim demokrasi. Mulai dari isu tenaga kerja asing, persaingan tenaga lokal dengan tenaga dari luar Kaltim, kepemilikan lahan IKN yang digunakan, kerusakan hutan dan ekositem, perlindungan satwa, keamanan nasional, potensi konflik, ketahanan pangan, pembiayaan konstruksi, pemindahan PNS dan aset negara dan lain sebagainya. Tentu semua ini sudah difikirkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah BAPPENAS dan tim yang dibentuk terkait persiapan pemindahan IKN.
Membaca fikiran dan suara hati Isran Noor
Memang tidak mudah menjadi seorang gubernur yang gaya kepemimpinannya terkadang terkesan selalu berusaha untuk menyenangkan hati masyarakatnya dengan joke-joke dan kelakar ciri khasnya. Mungkin memang kondisi masyarakat yang sudah cukup stress dengan himpitan ekonomi akibat pandemi covid-19 yang berkepanjangan menjadi salah satu sebab beliau untuk menghibur masyarakatnya, sehingga terkesan mengabaikan aspirasi-aspirasi masyarakat yang selama ini didengungkan.
Dan memang tidak mudah membaca fikiran dan suara hati sang gubernur ini, sedekat apapun anda dengan beliau, perlu pemikiran ekstra untuk membaca ucapan-ucapan yang keluar dari mulutnya yang terkadang penuh dengan pesan-pesan SATIRE.
Sebagai contoh sederhana namun berdampak luar biasa, misalnya tatkala Isran Noor masih menjabat sebagai Bupati Kutai Timur yang kala itu menghentikan Izin Usaha Pertambangan 4 anak perusahan raksasa pertambangan yang bermarkas di UK dan Australia yang berujung pada gugatan Arbitrase Internasional. Kebijakan yang tampak bodoh tersebut tentu menuai reaksi pro-kontra didalam negeri karena berpotensi kehilangan investor asing yang ujungnya berdampak pada devisa negara.
Namun, diujung gugatan tersebut, pemerintah Indonesia terkhusus masyarakat Kutim (Kaltim) diuntungkan terkait nasionalisasi aset-aset tersebut dan menyelamatkan potensi kerugian negara lebih dari 17 Triliun rupiah. Tentu bukan nilai yang kecil, bahkan bisa dibilang sangat besar. Dan tentu tekanan luar biasa oleh asing dan oligarki terhadap seorang Bupati. Andai saat itu kepentingan pribadi dan golongan yang lebih ditonjolkan, maka bukan tidak mungkin 5% dan 17 Triliun bisa didapatkan dengan mudah untuk bisa dilakukan negosiasi dan "berdamai". Baiklah, mari kita kembali ke IKN Nusantara.
Terlepas dari pertimbangan-pertimbangan teknis oleh pemerintah pusat yang menetapkan Kalimantan Timur sebagai lokasi pemindahan IKN Jakarta, ada peran tangan dingin seorang Isran Noor sebagai seorang Pejuang Rakyat.
Kalau boleh membaca gagasan kebangsaan dan kepentingan masyarakat Kalimantan Timur khususnya, kepentingan masyarakat wilayah Timur Indonesia, bahkan kepentingan nasional yang ada di fikiran dan hati sang gubernur saat itu, maka pemikirannya tersebut berbuah penetapan Kalimantan Timur menjadi IKN Nusantara.
Tentu para gubernur dan tim sukses 11 provinsi yang menjadi calon lokasi IKN Nusantara sangat aktif bernegosiasi dan bermanuver dengan cara mereka masing-masing baik terang-terangan maupun tersembunyi agar provinsi mereka dipilih menjadi lokasi calon IKN, bahkan tidak sedikit yang melakukan bargaining dengan pemerintah pusat bahkan juga oligarki.
Kaltim "sepertinya" tidak meminta apa-apa, bahkan siap memberikan yang negara butuhkan demi kepentingan nasional, yakni lahan untuk pemindahan ibu kota Jakarta "tanpa syarat apapun", mengingat sebagian besar lokasi tanah yang ditawarkan adalah tanah Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT. ITCI (dan beberapa perusahaan lain) yang membentang dari Sepaku (PPU) hingga Jonggon (Kukar) bahkan mendekati wilayah Kutai Barat yang statusnya milik negara serta sebagian kawasan Area Penggunaan Lain (APL).
Camping Ground IKN Nusantara Presiden Joko Widodo dengan latar pohon Acacia & Eucalyptus (Sumber:detik.com) |
Dalam fikiran seorang Isran Noor sebagai seorang putra daerah sekaligus seorang negarawan, bahwa melalui penetapan IKN di Kalimantan Timur, merupakan pintu masuk multiplier effect untuk kesejahteraan masyarakat Kalimantan Timur khususnya dan kawasan Timur Indonesia serta Indonesia secara keseluruhan.
Isran Noor tidak menuntut apa-apa dari kompensasi penetapan Kalimantan Timur sebagai IKN Nusantara, tidak meminta jabatan di Badan Otorita, pun tidak meminta kompensasi sebagai menteri tatkala resufle terjadi, serta kompensasi-kompensasi bentuk lainnya secara pribadi.
Mantan Bupati Kutai Timur tersebut faham betul bagaimana perjuangan Kalimantan Timur dari waktu ke waktu, dari presiden yang satu ke presiden yang lain untuk mendapatkan HAKnya atas kekayaan alam yang "direnggut" dari perut bumi Kalimantan Timur sejak bergabungnya Kalimantan Timur ke dalam NKRI, untuk bisa memperoleh besaran Dana Bagi Hasil (DBH) Migas dan hasil-hasisl produksi lainnya seperti Karet, Sawir dll guna pembangunan Infrastruktur dan penyediaan lapangan kerja guna mensejahterakan masyarakat Kaltim.
Dengan penetapan Kalimantan Timur sebagai Ibu Kota Negara yang baru dengan nama IKN Nusantara "tanpa syarat", sebenarnya pada hakikatnya merupakan bentuk lain atau cara lain bagi Kaltim untuk memperoleh hak-hak nya yang selama ini cenderung diabaikan. Kaltim tidak perlu lagi meminta peningkatan kualitas pendidikan misalnya karena secara otomatis infrastruktur pendidikan akan dibangun tidak hanya untuk warga Sepaku dan Kaltim, tapi juga untuk calon-calon penghuni IKN Nusantara termasuk pelatihan-pelatihan keterampilan dan sertifikasi kompetensi untuk masyarakat kawasan IKN Nusantara khsusnya dan Kaltim pada umumnya.
Begitu pula infrastruktur jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten/kota serta jalan-jalan desa akan ikut terimbas dari penetapan Kaltim sebagai IKN Nusantara. Kaltim tidak perlu lagi "mengemis" ke pemerintah pusat untuk dapat hak-haknya, karena otomatis IKN Nusantara menjadi multiplier effect tidak hanya bagi kabupaten/kota se-Kaltim, melainkan seluruh Kalimantan bahkan kawasan Timur Indonesia akan merasakan dampaknya.
DAN hal mengembirakan lainnya adalah kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang selama ini hanya terbatas jenisnya yakni Acacia dan Aucalyptus sebagai bahan baku utama pembuatan bubur kertas yang pada waktu-waktu tertentu harus dipanen sehinggga akan membuat kawasan ini akan menjadi lahan gundul sebelum ditanami kembali. Dan beberapa kawasan lain yang terhampar ladang Sawit juga akan bernasib sama. Dengan penetapan kecamatan Sepaku-Samboja sebagai kawasan IKN Nusantara maka kawasan hutan produksi ini bisa dikembalikan menjadi kawasan hutan alam (naturalisasi) dengan konsep Green City.
Yang jelas, begitu banyak keuntungan bagi masyarakat Kaltim dan provinsi sekitar atas penetapan Kalimantan Timur sebagai IKN Nusantara. PR selanjutnya adalah bagaimana meminimalisasi dampak negatif dari tahapan pembangunan awal dari kawasan ini. Jika Kalimantan Timur tidak mengambil peran ini, maka pastinya provinsi lain yang akan mendapatkannya. Akhirnya keputusan ada ditangan masyarakat Kaltim, ingin menjadi "pemain" dan mewarnai langsung pembangunan IKN Nusantara, atau menghabiskan energy untuk mencari kelemahan dari kebijakan ini dan berharap gagalnya dan berpindahnya IKN Nusantara kewilayah lain atau kembali ke Jakarta ?
Pertanyaan terbesarnya, haruskah Kaltim selalu "mengemis" untuk dapat jatah pembangunan infrastruktur dan pengembangan SDM dari Pusat? Jika ada cara yang lebih mudah dan bermartabat, kenapa harus "mengemis"?, "Sekali lagi, Masyarakat Kaltim dan selaku Gubernur pribadi tidak minta apa-apa terkait kompensasi penetapan sebagai IKN Nusantara, KALTIM selama ini sudah terbiasa "MEMBERI" untuk NKRI", MUNGKIN seperti itulah suara hati dan fikiran orang nomor satu di Kaltim ini yang acapkali bernada SATIRE.
Penulis,
Fathur Rachim (www.fathur.web.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar